Senin, 20 Juli 2009

TIGA GAYA BELAJAR

Mengenal 3 Gaya Belajar
Setiap orang ditakdirkan berbeda, tak terkecuali dalam bagaimana seseorang belajar. Setiap individu memiliki gaya belajar yang berlainan. Bagi seorang guru, sangat penting mengetahui gaya belajar siswanya sehingga cara mengajarnya dapat mencapai hasil yang lebih maksimal dengan menyesuaikan gaya belajar siswa-nya.
Seringkali guru salah menilai jika ada siswa yang tidak bisa duduk diam dan tenang. Seringkali malah siswa tersebut dianggap nakal. Bisa saja siswa bertingkah seperti itu karena guru memberikan cara pengajaran yang tidak sesuai dengan gaya belajar siswa tersebut sehingga dia susah memahami pelajaran dan menjadi bosan.
Menurut penelitian, ada banyak kategori gaya belajar siswa. Namun, gaya belajar yang banyak dibicarakan dan akan sedikit dibahas disini ada tiga yaitu; visual/spatial, auditori/aural dan kinestetik/physical.

1. Gaya Visual/Spatial
Pembelajar gaya visual, lebih suka menggunakan foto, membuat gambar, bermain warna, dan peta untuk menyampaikan informasi dan berkomunikasi dengan orang lain. Dia suka membaca, suka menulis, suka mencoret-coret kertas, lebih menyukai membaca cerita dibandingkan mendengar cerita, cepat dalam melakukan penjumlahan atau perkalian, pintar dalam mengeja kata, dan sering mencatat segala yang diperintahkan.
Pembelajar tipe ini dapat dengan mudah memvisualisasikan benda, rencana dan hasil pikiran mata. Juga memiliki kemampuan yang baik tentang tata ruang sehingga mudah memahami peta.
Untuk mengajar pembelajar visual, gunakan foto, gambar, warna dan media visual lainnya untuk membantu belajar. Pakai alat tulis (spidol, kapur dll) minimal empat warna.
Banyak menggunakan “kata visual” dalam ungkapan. Contohnya: lihat, gambar, perspektif, visual, dan peta.
Gunakan peta pikiran (mind map) untuk memberikan penjelasan atau membuat catatan. Gunakan diagram sistem membantu memvisualisasikan hubungan antara bagian-bagian dari sistem.
Pakailah teknik bercerita tertentu dapat membantu pembelajar tipe ini untuk menghafal materi yang tidak mudah untuk “dilihat”.
Beberapa profesi yang sebagian besar menggunakan gaya visual adalah seni visual, arsitektur, fotografi, video atau film, desain, perencanaan (khususnya yang strategis), dan navigasi.

2. Gaya Auditori/Aural
Pembelajar tipe ini suka belajar atau bekerja dengan suara dan musik. Memiliki sensitifitas dalam nada dan ritme. Biasanya bisa bernyanyi, memainkan alat musik, atau mengenali suara dari berbagai instrumen. Musik tertentu memiliki pengaruh kuat ke emosinya.
Untuk pembelajar dengan gaya belajar auditori gunakan banyak suara, irama dan musik. Bacakan materi menggunakan suara yang keras, membuat sesi tanya jawab, berdiskusi, sambil mendengarkan musik ataupun bekerja secara kelompok
Gunakan mnemonic (jembatan keledai) dengan ritme menarik atau jingle lagu untuk menghafalkan sesuatu.
Perlu pemanfaatan konten yang menggunakan suara dalam asosiasi dan visualisasi. Misalnya suara binatang ketika belajar mengenai biologi, suara mesin ketika belajar kecepatan di fisika dll.

3. Gaya Kinestetik/Physical
Gaya Belajar ini lebih banyak belajar melalui melakukan sesuatu secara langsung (bergerak, bekerja dan menyentuh)
Siswa yang memiliki gaya belajar ini mengharuskan individu yang bersangkutan melakukan suatu aksi yang memberikan informasi tertentu agar ia bisa mengingat atau memahami sesuatu.
Pembelajar kinestetik tak tahan duduk berlama-lama mendengarkan pelajaran dan merasa bisa belajar lebih baik jika prosesnya disertai kegiatan fisik. Kelebihannya, mereka memiliki kemampuan mengkoordinasikan sebuah tim disamping kemampuan mengendalikan gerak tubuh (athletic ability). Tak jarang, siswa yang cenderung memiliki karakter ini lebih mudah menyerap dan memahami informasi dengan cara menjiplak gambar atau kata untuk kemudian belajar mengucapkannya atau memahami fakta.
Pembelajar karakteristik ini dianjurkan untuk belajar melalui pengalaman dengan menggunakan berbagai model peraga, seperti bekerja di lab atau belajar di alam atau sambil bermain. Perlu juga secara berkala mengalokasikan waktu untuk sejenak beristirahat di tengah waktu belajarnya.
Usahakan membuat sesi pembelajaran yang melibatkan kegiatan fisik seperti drama, membaca puisi, atau permainan sederhana.


Ilustrasi Gaya Belajar dari iqmatrix.com
Sumber:
• Bobbi DePorter, Mike Hernacki: Quantum Learning
• learning-styles-online.com
• tribunjabar.co.id
• imtelkom.ac.id

Minggu, 19 Juli 2009

Hasil IMO 2009

Tim IMO Indonesia 2009 mendapat 4 perunggu dan 1 HM.

Andreas Dwi Maryanto Gunawan, Bronze medal
Aldrian Obaja Muis, Bronze medal
Joseph Andreas, Bronze medal
Ronald Widjojo, Bronze medal
Raja Oktovin Parhasian Damanik, Honourable mention (HM)

Sebagai catatan:
Indonesia berada pada ranking 43 dari 104 negara.

Salam,
Hery Susanto
Sumber : Milis mahkotamatematika

Selasa, 14 Juli 2009

SOBAT, TLG SAMPAIKAN SALAMKU U/ ALUMNI MAT'92 IKIP MALANG

Sobat semua, tlg sampaikan salamku untuk alumni matematika '92 (IKIP MALANG) di sekolah Sobat semua. Trim banget.

Jumat, 10 Juli 2009

SENI MEMULAI PELAJARAN MATEMATIKA

*) oleh: Priyo Suroso, S.Pd

**) guru SMPN 3 Munjungan, Kab. Trenggalek

***) pernah dimuat di Buletin CENDIKA (Buletin MGMP Matematika SMP Kab. Trenggalek) edisi 01 tahun 2007

Mengajar matematika merupakan suatu karsa dengan nila seni tinggi. Matematika sebagai mata pelajaran dengan kategori ”momok” bagi sebagian siswa (meskipun belum tentu yang paling sulit) menuntut guru matematika mau dan mampu menerapkan strategi pembelajaran yang mujarab. Perlu kepedulian terhadap siswa dan kejelian terhadap kemampuannya dengan detail yang tinggi.

Sebagian besar guru berusaha keras menyempurnakan ketrampilan dalam seni mengajar untuk ”membekali” siswa dengan matematika kontemporer yang sesuai. Ketrampilan seni mengajar ini penting, khususnya dalam usaha memotivasi siswa, terutama dalam menghadapi siswa-siswa yang malas, yang sering kita jumpai dalam kelas.

Kebanyakan guru mempunyai kiat tersendiri dalam mengajar. Namun, guru yang cermat selalu mencari ide dan teknik baru untuk diterapkan di kelasnya.

Awal jam pelajaran yang indah

Banyak guru matematika yang menghabiskan sebagian besar waktu mengajarnya untuk membahasa tugas-tugas yang diberikan pada pertemuan sebelumnya. Meskipun penting untuk membahasnya, Sobel dan Maletsky (2001:2) mengingatkan bahwa lima menit pertama sering kali berarti sukses atau gagalnya suatu pembelajaran. Guru tidak perlu memulai pelajaran seperti itu, dan seharusnya tidak menggunakan sebagian besar waktunya di kelas untuk membahas tugas-tugas yang lalu.

Beberapa cara berikut, dapat digunakan untuk mengawali pelajaran.

1. Memberikan pertanyaan menantang.

Sebuah pertanyaan yang menantang dapat membangkitkan animo dan meningkatkan perhatian siswa pada pelajaran. Tentu saja, pertanyaan harus dirancang sedemikian rupa sehingga jawabannya dapat diperoleh dengan menggunakan materi dan metode yang sesuai dengan kurikulum, tingkat pelajaran, dan kemampuan siswa. Misalkan untuk siswa kelas VII yang sedang belajar bilangan. Guru ingin memberikan dasar penghitungan dan penilaian terhadap bilangan negatif.

”Ketika kalian berada di stasiun Malang Kotabaru, tertulis +444 m. Itu artinya, stasiun Malang Kotabaru berada pada ketinggin 444 m di atas permukaan air laut. Seandainya kalian bisa seperti Raden Ontorejo atau Raden Samba yang dapat masuk ke bumi dengan kecepatan maksimal 1jam/m, maka selama sehari kalian dapat mencapai kedalaman berapa km di atas/bawah permukaan air laut?”

Beberapa murid akan menduganya. Setelah dugaan-dugaan diberikan dan dicatat, murid diingatkan bahwa mereka belum mempunyai cukup informasi untuk menjawab pertanyaan. Mereka belum diberitahu apakah lajunya konstan karena di dalam tanah mungkin terdapat bebatuan dan apakah diselingi berhenti atau tidak. Ini untuk memberi kesadaran pada siswa bahwa dalam bilangan ada syarat-syarat tertentu.

Katakan bahwa bagaimanapun keadaan di dalam tanah, laju tetap dan tidak akan berhenti sebelum mencapai waktu sehari penuh (24 jam). Tentu saja ada siswa yang cerdas yang memberikan jawaban 420 m di atas permukaan air laut. Berikutnya siswa dituntun untuk menentukan pencpaian selama satu bulan, satu tahun, dan sebagainya.

2. Sejarah/berita/anekdot yang berhubungan dengan materi atau matematikawan.

Misalnya, hari tersebut adalah kelahiran si anu (tokoh matematika dengan sekilas biografinya). Informasi akan menarik bila ditekankan pada perjuangan, kisah cinta, atau pengalaman lucu tokoh tersebut. Pengalaman guru atau siswa sekolah lain juga dapat menjadi awal pelajaran yang indah.

Barangkali, guru-guru matematika perlu untuk membuat koleksi cerita seperti Chicken Soup-nya Jack Canfield, sehingga bisa menggunakannya dalam pembelajaran secara tepat.

3. Matematika yang luput dari perhatian siswa.

Misalnya bilangan prima terbesar yang diketahui saat ini adalah 23021377–1, suatu bilangan yang memiliki 909.526 digit. Beberapa informasi tersebut dapat kita akses dari www.nctm.org atau www.maa.org . Buku ”Ensiklopedi Matematika dan Peradaban Manusia” banyak memberikan ilmu tentang materi ini.

4. Memulai dengan rasa kasih sayang.

Sih Lubertin, guru salah satu SMK di Malang selalu mengawali pelajaran dengan menanyakan kabar siswa. Ini membuat siswa merasa mendapat kasih sayang, sehingga menyebutnya dengan panggilan ”mama”. Dampak positif tercapai: siswa Sih Lubertin yang terkenal dengan minat belajar yang relatif rendah dapat meraih nilai UN Matematika yang lebih bagus (daripada perkiraan). Satu kisah menarik yang dialami Sih Lubertin: suatu saat ia menerima telepon dari polisi bahwa anaknya mengalami kecelakaan. Ia telah menyangkal pernyataan itu karena kedua anaknya berada di rumah. Tapi polisi tetap pada pendiriannya karena bukti-bukti yang ada. Setelah gagal meyakinkan polisi bahwa telepon salah alamat, ia memenuhi panggilan untuk datang ke rumah sakit. Setelah diamati, ia tetap tidak bisa mengenali ”anak”nya yang tidak sadarkan diri tersebut. Polisi menjelaskan bahwa satu-satunya petunjuk adalah tulisan di dompet ”anak” hanya terdapat nomor telepon mama. Lubertin kemudian menghubungi sekolah untuk mencari identitas anak dengan ciri yang diketahui, yaitu tahi lalat di pipi kanan. Setelah dicek beberapa waktu, barulah dapat diketahui bahwa korban kecelakaan adalah siswanya yang telah lulus 4 tahun sebelum kejadian.

5. Menciptakan suasana hati yang tenang dan riang.

Suasana hati yang tenang dan riang dimana gelombang pikiran berada pada tingkat theta (frekuensi 4 – 8 Hz) dapat meningkatkan konsentrasi siswa. Seperti yang dilakukan Dwi Priyono, guru SMPN 4 Kediri, yang pernah masuk kelas dengan meloncat-loncat seperti vampir. Hasilnya, pelajaran matematika yang diampunya setelah pelajaran olahraga, dapat diawali dengan sukses.

DePorter, dkk (1999:75) menyarankan untuk memulai jam pelajaran dengan memainkan musik kontemporer yang positif dan ringan. Dengan mendengarkan musik kontemporer yang riang antara sesi belajar, tubuh akan terangsang untuk bergerak dan berubah. Langkah ini juga dapat dilakukan dengan meditasi, berdoa dengan khusuk, dan menyalurkan tenaga prana. Wijianto, guru SMPN 1 Suruh, membuktikan bahwa pembelajaran yang dimulai dengan menyalurkan energi reiki, dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.

6. Cerita tentang kehidupan siswa.

Salah satu syarat pembelajaran menarik adalah memulai pembahasan dari sesuatu yang diketahui siswa. Misalnya tentang penerapan materi di dalam lingkungan siswa. Dengan demikian, siswa dapat ”nyambung” tentang materi yang akan dibahas. Justru akan lebih baik lagi jika selama PBM (bukan hanya awal), materi berhubungan dengan kehidupan konkrit siswa. Parnell (2001:16) menyatakan connecting the ’why’ of concrete reality to the teaching process provides an essential motivational force for learning. Johnson (2002:43) memperkuat dengan menyatakan bahwa connecting learning to one’s life makes studies come alive.

Tentu masih banyak cara lain yang menarik. Seperti cara Susilo, guru bahasa Inggris SMPN 2 Tugu (sekarang Kasek SMPN 3 Munjungan), yang memulai pelajaran dengan menunjukkan gambar yang dapat memancing siswa untuk masuk ke materi yang akan dipelajari.

(bersambung dengan judul lain)

Rujukan:

DePorter, Bobby, dkk. 1999. Quantum Teaching. Terjemahan oleh Ary Nilandari. 2000. Bandung: Kaifa.

Johnson, Elaine B. 2002. Contextual Teaching and Learning. Thousand Oaks, California: Corwin Press.

Parnell, Dale. 2001. Contextual Teaching Works. Waco, Texas: Center for Occupational Research and Develeopment.

Sobel, Max A. dan Maletsky, Evan M. 2001. Mengajar Matematika. Terjemahan oleh Suyono. 2003. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Rabu, 08 Juli 2009

rasa kangen buat sahabat

met berlibur bagi teman-teman yang bisa menikmati liburan , tapi aku percaya banyak diantara kita yang mendapatkan tugas tambahan yang lebih menyita waktu ketimbang diklat yang kita hadapi bersama beberapa waktu lalu, hadapi semua dengan iklas smua demi anak bangsa insya alloh membawa barokah. trimk jangan lupa dengan pengalaman selama d asrama balongsari

Selasa, 07 Juli 2009

Minggu, 05 Juli 2009

Jumat, 03 Juli 2009

DEMI ANAK BANGSA

Sudah menjadi tradisi, setiap akhir semester dan mengawali semester baru atau tahun ajaran baru anak-anak libur. Biasanya ini dijadikan kesempatan bagi kita untuk ikut menikmati libur. Ada yang berkunjung ke sanak kelurga, rekreasi, atu kegiatan lain yang tidak dapat kita kerjakan saat hari efektif belajar.
Tetapi kita (terutma pengajar matematika) yang di wakasek atau urusan, tentu menikmati suasana yang berbeda. Kita sibuk dengan PSB di sekolah masing-masing, belum ditambah lagi kita yang mempunyai anak akan melanjutkan ke sekolah jenjang berikutnya (contoh: P Slamet, Bu Nurul Pasuruan, Bu Ninik Bojonegoro), tentu kita akan lebih sibuk lagi. Tetapi yakinlah, sesuatu yang kita kerjakan dengan iklas dan senang tentu sesuatu itu akan banyak kemudahan.

Kamis, 02 Juli 2009

Cari Teman.....

Bapak/IBu barang kali di tempat Bapak/Ibu ada yang alumni Jurusan Matematika IKIP Malang angkatan 85 mohon diinfokan untuk membuka blognya alumni http://ikipmat85.blogspot.com
Terutama yang dari Madiun....Banyak yang belum terdeteksi...... MHn Bantuan Pak Yono TQ

Persiapan...... placement test

Sedang mempersiapkan (buat soal) placement test bagi siswa baru.
Kita khususnya guru matematika SMP tidak jarang bahkan selalu ada beberapa siswa yang nilai UASBN nya tinggi namun kenyataannya kemampuannya tidak seperti itu. Oleh karena itu diperlukan seperangkat alat evaluasi untuk mendiagnosis dan memastikan betulkah memang kemampuannya sebanding dengan nilai yang diperoleh.
Hasil dari test ini dapat menunjukkan peta kemampuan siswa dengan demikian bisa digunakan untukbeberapa hal misalnya pengelompokkan siswa berdasarkan kemampuan, melakukan pembimbingan bagi siswa yang tidak memenuhi standar minimum (passing grade) . Materinya adalah konsep dasar misalnya operasi hitung dll yang sudah diajarkan di SD.
............................................................